25 Mei 2010

Kuliah Sambil Bekerja, Mengapa Mesti Gengsi?

Sejumlah mahasiswa kuliah sambil bekerja. Sebagian karena mereka memerlukan uang untuk biaya kuliah. Untuk sebagian mahasiswa lainnya, terutama di kota besar, alasan itu bisa tak berlaku. Kini, sebagian mahasiswa memilih belajar sekaligus bekerja apa saja asal halal, bukan semata karena uang. Mereka tak malu, meski bekerja di bidang pelayanan jasa. Mereka malah merasa bangga.

Dillon Ari Lesmana (22), mahasiswa jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya misalnya, sejak usia 19 tahun sudah bekerja. Meski ayahnya seorang manajer yang mampu membiayai kuliah dan biaya hidup anak sulung dari dua bersaudara ini. "Pada awal saya jadi penjaga toko, orangtua sempat keberatan. Itu bukan karena gengsi, mereka khawatir kuliah saya terganggu. Tetapi, sekarang mereka malah mendukung," kata Dillon yang bekerja sebagai penjaga toko House of Rotten Apple di kawasan Sukolilo, Surabaya.


Sementara Miranti Jaya Anggaran (21), mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya angkatan 2001, yang juga menjadi penjaga toko tersebut bercerita, ini adalah tempat kerja keduanya. Sebelum bergabung dengan House of Rotten Apple, toko pakaian, majalah, dan buku untuk anak muda ini, dia pernah bekerja di toko busana dan pernak-pernik di daerah Semolowaru, Surabaya. "Saya cuma dua bulan bekerja di toko busana itu. Di toko pertama, saya bekerja delapan jam sehari, selama enam hari seminggu. Gajinya Rp 225.000 per bulan," kata anak pertama dari empat bersaudara, yang orangtuanya punya usaha sablon ini.

Astrid Hernalia (21), mahasiswi semester enam Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta, malah sudah hampir setahun ini bekerja paruh waktu di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta Selatan. Orangtua Astrid keduanya bekerja. Meski "hanya" kerja paruh waktu, namun sulung dari dua bersaudara ini merasa senang bisa membayar sendiri sebagian biaya kuliah. Dia tak merasa kecil hati, meski di tempat kerjanya Astrid harus mengelap meja atau mengepel lantai. "Asyik-asyik aja tuh. Saya juga enggak merasa kekurangan waktu buat gaul dan belajar. Enaknya kerja di sini, waktunya fleksibel, jadi bisa disesuaikan biar enggak ganggu kuliah dan ujian," ujar Astrid yang dalam seminggu bekerja sekitar 20 jam.

Berbeda dengan ketiga mahasiswa tersebut, Prastowo (20), mahasiswa semester dua Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, memang harus bekerja keras untuk membayar biaya kuliah. Untuk pergi-pulang kuliah, dia harus mengayuh sepeda dari rumahnya di Dusun Kwaron, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, tujuh kilometer arah tenggara Kota Yogyakarta. Usai kuliah dan berkegiatan di kampus, pukul 21.00 sampai pukul 05.00 dia bekerja sebagai pemungut retribusi berstatus honorer di terminal penumpang Yogyakarta. Sekitar dua tahun pekerjaan itu ditekuninya, sambil tetap aktif dalam lembaga pers mahasiswa fakultas, serta penelitian dan forum diskusi ilmiah Lembaga Mutiara Bangsa Yogyakarta.

"Saya sengaja memilih shift malam, biar tidak mengganggu jadwal kuliah dan ujian," kata bungsu dari enam bersaudara, yang orangtuanya petani gurem ini. Dari penghasilannya sebagai pemungut retribusi itu, dia bisa membayar sendiri biaya kuliahnya. 

Merasa bebas 


Walaupun sektor pekerjaan yang mereka lakukan di bidang jasa pelayanan, bukan pekerjaan yang lebih mengandalkan kemampuan otak, namun para mahasiswa sekaligus pekerja ini tak kecil hati. Orangtua mereka yang secara finansial mampu menyokong biaya kuliah pun tak keberatan, dengan syarat tak mengganggu kelancaran pendidikan formal. Astrid yang mendapat informasi soal lowongan pekerjaan di kafe itu dari teman kuliah, malah menggandeng ibunya saat menyampaikan surat lamaran. Ayahnya menunjukkan dukungan dengan menjemput Astrid, bila dia tengah mendapat giliran kerja sampai pukul 22.00. Untuk empat jam kerja paruh waktu, dia mendapat bayaran Rp 35.000.

"Pada awal masuk kerja saya sempat bingung, tetapi cuma sebulan. Setelah itu, enjoy aja," ucap Astrid sambil bercerita dia malah senang bila ada orang yang dikenalnya mampir ke kafe tempatnya bekerja.

Promosi

Hal serupa juga dirasakan Miranti. Dia juga mempromosikan barang baru yang ada di toko kepada teman kuliah. Dengan bekerja, Miranti merasa lebih nyaman karena tak mengandalkan uang dari orangtua semata. "Meskipun masih tinggal sama orangtua, secara finansial saya sudah mandiri. Saya merasa lebih punya kebebasan sekaligus tanggung jawab," ujar gadis yang targetnya menyelesaikan pelajaran teori pada semester mendatang.

Sementara Dillon justru mengenal dunia kerja karena pengaruh orangtua. Ayahnya kerap bercerita tentang reksadana dan pengelolaan dana. Maka, Dillon pun memberanikan diri menjalankan uang orangtua sebagai modal "bermain" di lantai bursa.  "Dua tahun saya bekerja sekaligus belajar reksadana saham. Tetapi, saya merasa perlu tantangan baru. Ada pikiran, ini kan modal orangtua, gimana ya rasanya kalau bekerja dari nol, tanpa bantuan siapa pun," tutur Dillon yang dari penghasilannya bisa membayar separuh dari uang kuliah.

Maka, tanpa ragu dia melamar menjadi penjaga toko. Dillon yang mengaku tak lagi minta uang saku kepada orangtua, kini penghasilannya lebih kecil dibanding keuntungan bermain saham. Dia juga tak merasa kerja sebagai penjaga toko itu tak bergengsi. Enam jam dalam sehari dia berdiri di toko. Dillon memilih waktu kerja sore hingga malam, agar tak mengganggu jadwal kuliah. "Toko ini kan distro, jadi banyak teman-teman yang suka ke sini. Saya senang-senang saja ketemu mereka, hitung-hitung bekerja sambil ngobrol," ujarnya enteng.

Pelajaran tambahan

Astrid menambahkan, dengan bekerja di kafe dia justru mendapat pelajaran tambahan. Dia jadi tahu bagaimana "trik" menjual, dan bagaimana membuat orang merasa menjadi bagian dari kafe hingga tanpa sadar lalu jadi pelanggan tetap. "Setelah bekerja, saya jadi tahu gimana capeknya jadi pelayan. Rasanya, saya jadi makin bisa menghargai orang kerja. Jadi, kalau saya lagi makan di restoran, enggak lupa lagi bilang terima kasih sama pelayannya," ucapnya.

Dengan bekerja, gadis ini juga merasa lebih "menghargai" uang. Dia tak lagi begitu saja memutuskan membeli barang yang diinginkan. Astrid akan bertimbang-timbang, sebelum memutuskan membeli sesuatu.  "Kalau emang udah pengin banget beli baju misalnya, saya nabung dulu. Dengan kerja, saya jadi lebih irit, kalau makan di kampus aja, murah, Rp 5.000 udah kenyang," ujar Astrid yang merasa cocok bekerja sebagai pelayan kafe, karena seragamnya kasual dan tak mensyaratkan pekerja harus dandan "abis".

Meski mengaku menikmati pekerjaannya kini, namun Astrid belum bisa memutuskan apakah akan meniti karier di tempat sama seusai kuliah. Bagaimanapun, dia ingin juga punya pengalaman bekerja sesuai bidang studi yang ditekuni. Apa pun, pekerjaannya kini memberikan pengalaman yang tak terbayar. Membuat para mahasiswa sekaligus pekerja itu paham makna kerja. Nilai tentang gengsi pun mengalami pergeseran, juga "kelas" dalam pekerjaan. Orangtua pun semakin realistis. Mereka tak lagi melarang anaknya bekerja "kasar" atau merasa gengsinya merosot hanya gara-gara si anak bekerja di bidang pelayanan jasa.


1 komentar:

  1. saya setuju banget,karena dengan adanya kemandirian sejak dini. itu akan memupuk rasa percaya diri dan menghancurkan rasa sombong yang sering sekali terjadi di mahasiswa sekarang alias mahasiswa keblinger,
    sebagian mereka banyak yang bicara tentang bisnis usaha dan managemen tapi lebih sedikit lagi yang action....
    tapi lebih baik lagi bagi penulis di atas supaya lebih cenderung membuka usaha sendiri aja... syukur syukur bisa buat lapangan kerja bagi orang lain......
    menurutku, pahlawan zaman sekarang adalah orang yang memebuka lapangan lerja bagi orang lain

    BalasHapus